Dolanku.com - Sebelum melanjutkan membaca, perlu diketahui dulu bahwa kegiatan wisataku bukan berwujud kunjungan ke Kota Blitar. Melainkan, naik kereta api itu sendiri yang merupakan bagian dari "wisata sederhana."
Sebab, aku ke Kota Blitar punya agenda khusus. Bukan untuk wisata. Di mana, sebenarnya beberapa waktu sebelumnya aku sempat pilih pakai kendaraan pribadi. Berhubung, tiba-tiba ingin naik kereta, akhirnya tak jadi.
Sayangnya, ternyata durasi yang tersedia untuk menyukseskan program tersebut sangat terbatas. Ketika disesuaikan dengan jadwal kereta, membikin rencana pentingku di Kota Blitar gagal. Dengan maksud lain, estimasi yang aku perkirakan melesat.
Waktu yang ada, cuma digunakan berjalan kaki bolak-balik dari stasiun menuju alun-alun Kota Blitar serta sholat jamak takdim qasar di Masjid Agung, yang terletak di baratnya alun-alun. Lagi pula, saat di Masjid itu, aku lumayan lama menikmati udara sejuk di sana.
Kalau masih ada waktu, bisa aku pakai berkegiatan di Alun-alun Kota Blitar yang letaknya tak jauh dari stasiun kereta api. Sudah ada rencana matang.
Penyebab waktu terbuang lainnya yaitu pulang pergi dari dan menuju ke lokasi alun-alun, aku cukup jalan kaki. Agak jauh, tetapi bagiku enggak bikin capek.
Cerita Berwisata di Gerbong Kereta Api
Aku berangkat dari stasiun Kota Malang sesuai jadwal tiket yaitu pukul 10.35 WIB dan tiba pukul 12.50 WIB. Adapun, tiket pulang dari stasiun Blitar pukul 14.03 WIB serta tiba di Malang pukul 16.17 WIB. Durasi di Kota Blitar hanya 1 jam lebih 13 menit.
 |
E-boarding Pass tiket kereta api (sumber foto koleksi pribadi) |
Ketika perjalanan ke Kota Blitar, aku duduk berhadapan dengan seorang ayah beserta anak bayinya yang berumur kisaran 1 tahun. Masih masa lucu-lucunya. Hebatnya lagi, selama perjalanan bareng aku kurang lebih 2 jam, bayi tersebut tak menangis.
Sebenarnya, aku dapat jatah kursi paling pinggir mepet jendela. Berhubung, di bagian kursi yang saling berhadapan itu sudah penuh sesak disertai orangnya terlanjur nyaman duduk di sana, aku putuskan untuk duduk di tengah yang seharusnya ditempati olehnya.
Hikmahnya, aku bisa duduk berhadapan dengan bayi imut. Sebab, jika aku memaksakan duduk mepet jendela maka yang ada aku berhadap-hadapan dengan ibunya bayi. Itu yang juga menjadi alasan aku untuk mengalah. Lagian, enggak nyaman berhadap-hadapan dengan istri orang.
Tingkah bayi itu sungguh begitu aktif. Mulai dari mengeluarkan nada suara yang random (karena belum bisa bicara, tetapi sudah paham ketika ditanya dan dilarang), gerak-gerakkan tangan, berdiri di kursi untuk mengintip penumpang di belakang (tentu sembari dipegang ayahnya), dan masih banyak lagi.
Aku juga "tak sengaja" mendengar percakapan anak kuliahan dengan ibu-ibu yang bercerita tentang pengalaman anaknya saat mendaftar kuliah. Gaya bicara ibu tersebut lancar, intonasi jelas, dan tertawa. Wajar saja, menurut pengakuanya, dia adalah guru.
Ada lagi, cerita tentang bayi lain agak jauh di belakangku yang menangis gara-gara melewati terowongan panjang dan gelap. Uniknya, nangisnya bukan saat pemandangan di kaca gerbong yang tiba-tiba petang pekat, tetapi ketika sudah usai melewati dua terowongan panjang.
Selanjutnya, berbeda saat berangkat ke Kota Blitar, balik ke Kota Malang aku tidak mendapatkan jatah kursi. Alhasil, aku harus berdiri. Mencari lokasi gerbong longgar yang letaknya di ujung depan ataupun belakang setiap masing-masing gerbong.
 |
Tiket kereta tanpa kursi (sumber foto koleksi pribadi) |
Aku sengaja mencari gerbong makan (restoran) sekaligus gerbong kelistrikan (genset). Alasannya, di bagian belakang gerbong tersebut tersedia ruang longgar. Selain itu, ketika memungkinkan, bisa leluasa pindah ke ujung depan gerbong belakangnya maupun sambungan gerbong di belakangnya.
Bersyukurnya, tatkala pulang dari Blitar, aku bisa menemukan pemandangan sawah, hutan, dan perkebunan yang amat memuaskan mata. Lantaran, aku berdiri persis pada sebelah pintu kereta. Aku begitu leluasa mengarahkan mata ke mana saja.
Rasa capek berdiri tak begitu terasa. Lagi pula, aku tak berdesakan mepet dengan penumpang lain yang juga tak kebagian tiket. Masih ada ruang bagi kakiku untuk digerakkan agar tak kesemutan.
Terbukti, ketika tiba di stasiun Malang, aku masih mampu jalan cepat sebagaimana waktu menuju alun-alun Kota Blitar. Naik tangga terowongan stasiun pun masih lancar tanpa hambatan. Padahal, waktu sore itu lagi banyak-banyaknya penumpang.
Itulah sedikit ceritaku tentang wisata naik kereta api lokal. Semoga bermanfaat.
(*)
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Pengalaman Pribadi, Berwisata Naik Kereta ke Kota Blitar"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di Dolanku.com