Aneh, di negara berlandaskan Pancasila kok ada orang yang nyinyir terhadap pemerintah daerah yang mengusung konsep wisata halal. Padahal, Indonesia bukan negara sekuler. Lebih dari itu, mayoritas masyarakat menerima atau setidaknya netral (tetapi lebih cenderung memihak) terhadap terwujudnya program wisata halal. Nah, yang memberontak alias menolak terselenggaranya wisata halal ternyata jumlahnya minoritas. Namun, kecerewetan yang didengungkan teramat berisik.
Tujuan utama wisata halal adalah memenuhi hak-hak umat Islam dalam negeri maupun luar negeri yang hendak menjalankan perintah agamanya saat berada di lokasi wisata. Dengan begitu, dari hulu hingga hilir seluruh fasilitas maupun pelayanan wisata harus menerapkan aturan sesuai ajaran Islam. Bukan cuma terkait minuman dan makanan yang mesti halal. Melainkan pula penginapan (hotel syariah), fasilitas tempat ibadah, hingga acara hiburannya.
Pemerintah daerah ataupun pengelola wisata yang mengusung jargon "wisata halal" bukan berarti sedang melakukan arabisasi, Islamisasi, dan mau menghilangkan kearifan lokal. Sebab, wisata halal sangat berbeda dengan wisata religi. Hal itu terutama dari segi tujuan. Wisata religi memang tujuan pokoknya hendak ingin mendekatkan diri pada-Nya. Sisanya, sebagai bonus untuk kegiatan wisata. Baik itu wisata belanja, wisata Rumah Ibadah, wisata situs-situs agama, dan lain-lain.
Sungguh aneh, kalau sebagian dari kaum minoritas itu memang takut dengan istilah "halal" akibat Islamophia alias anti Islam lantas apakah mau menggantinya dengan menyebutnya "wisata ramah Muslim"? Apalagi, fasilitas dan layanan untuk membiayai pengadaan wisata halal tidak begitu membebani anggaran. Di mana, kebutuhan Muslim dalam aktivitas wisata mereka dalam satu hari penuh di antaranya meliputi:
1. Tempat bersuci menggunakan air.
2. Sarana dan prasarana sholat.
3. Minuman dan makanan halal.
4. Fasilitas dan layanan yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Misalnya tanpa ada unsur porno (pakaian, perbuatan, kata-kata yang ditulis, suara termasuk lagu, sampai gambar-gambar).
5. Hiburan yang tidak berlebih-lebihan (berdurasi wajar, jumlahnya tak melampaui batas kepantasan, tidak melanggar norma agama, serta enggak bikin resah).
Bagi orang yang belum tahu manfaat terkait wisata halal, barangkali kuper lantaran jalan-jalannya kurang jauh, silakan lihat kesuksesan tempat dan negara yang menyelenggarakan wisata halal. Di negara China, Jepang, Korea, Eropa, dan berbagai belahan bumi lainnya juga mulai tertarik untuk menerapkan konsep wisata halal secara serius. Bahkan, di pulau Bali sekalipun ada pengelola non Muslim (warga lokal) yang mempunyai bisnis penginapan dan restoran yang memiliki sertifikat halal.
Jadi, sudah jelas bahwa wisata halal berbeda dengan wisata religi. Wisata halal boleh dikelola atau dimiliki oleh siapapun dengan syarat memenuhi standar atau punya sertifikasi halal. Sedangkan, wisata religi wajib dikelola oleh orang yang seagama sesuai dengan konsep religius/keagamaan yang diusung sebagai daya tarik wisata. Intinya, wisata halal murni bertujuan untuk bisnis sehingga dapat mensejahterakan masyarakat sekitar.
Mulai sekarang, janganlah takut terhadap simbol-simbol yang menunjukkan identitas sebagai penganut agama Islam!
|
Ilustrasi hotel yang mendukung program wisata halal (sumber Pixabay.com/ fotosforyou_rk) |
Tulisan milik *Dolanku* lainnya:
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Wisata Halal Bukan Berarti Arabisasi, Islamisasi, Maupun Menghilangkan Kearifan Lokal"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di Dolanku.com